Tinggal di kompleks perumahan di sebuah objek vital nasional mempunyai banyak keunikan. Contoh sederhana, saat dulu di Malang atau Yogya, jika tengah malam perut terasa lapar, tinggal tunggu depan kos-kosan, maka para penjual tahu tek, nasi goreng dan lainnya tak lama pasti berdatangan. Berbeda halnya dengan kami, jika kangen dengan para penjual keliling maka harus rela keluar pagar, baru bisa ketemu mereka.
Perbedaan lainnya adalah tidak adanya transportasi umum yang boleh beroperasi didalam kompleks. Satu sisi memang lalu lintas cenderung aman, namun menjadi siksaan bagi keluarga yang tidak bisa nyetir sendiri. Salah satunya istri saya.
Meski kantor nggak terlalu jauh dengan rumah, namun lama-lama terasa nggak lucu jika tiap kali istri atau anak perlu, kita harus pulang, entah itu ke rumah sakit, sekolah atau acara lain. Satu-satunya cara yang paling praktis adalah mengajari salah satu anggota keluarga, khususnya istri untuk bisa setir mobil. Sekitar empat tahun lalu, akhirnya dengan berat hati mulai saya ajari istri untuk bisa nyetir mobil sendiri.
Ternyata, ngajari nyetir istri tidak sesimple kelihatannya. Entah mengapa, perasaan ingin uring-uringan saja, kalau sudah masuk ke mobil. Yang gasnya kurang kencang, tapi dilain waktu kurang ditancap. Yang masukin gigi kasar sampai protes karena bunyi mesin yang nggereng. Lain kesempatan uring-uringan lagi karena perasaan terlalu lambat. Lain kali uring-uringan karena hampir nyerempet orang. Sampai parkir yang nggak lurus. Yang paling seru kalau perasaan cat mobil beret. Dan lain sebagainya, yang kalau dalam kondisi normal tidak masalah, namun saat ngajari nyetir istri menjadi bahan uring-uringan.
Kondisi ini tentunya tak sehat bagi kami. Bisa-bisa bertengkar gara-gara selalu uring-uringan dengan istri. Akhirnya, saya menyerah. Saya ajak istri saya belajar nyetir ke Lembaga Belajar Mengemudi.Dengan kata lain saya angkat tangan. Biar orang lain yang ngajari dan menanggung semua ketidaknyamanan ini.
Kasus susahnya ngajari istri menyopir ternyata bukan hanya saya yang mengalami. Kalau ada survey tentang suami yang ngajari isterinya nyopir, mungkin kebanyakan akan ditemukan fakta bahwa mereka semua uring-uringan. (Kenapa ya?)
Inti dari semua diatas bahwa mengajari orang lain, bahkan isteri sendiri, agar pinter dan terampil ternyata tidak semudah bayangan kita. Dalam kasus diatas, ada aspek ketidaknyamanan, waktu, biaya, kekawatiran, potensi loss asset, dan ketidaknyamanan lainnya.
============================
Di dunia kerja; hampir sama dengan cerita saya ngajari nyetir istri, people development adalah salah satu hal sulit, yang sayangnya harus dilakukan. Tidak usah kita bicarakan dalam skala organisasi, tapi di unit kita sendiri, dimana sehari-hari kita bekerja.
Tanggung jawab mendevelop orang lain adalah suatu yang membutuhkan energi ekstra, kadang berpotensi loss, perlu biaya, perlu waktu, mengusik kenyamanan, dan tentunya menuntut pengorbanan. Tak jarang agar lebih maksimal dan tidak “uring-uringan”, perusahaan ambil simplenya, mengirim dan mempercayakan tugas mengajari orang-orangnya ke lembaga pelatihan, seperti yang saya lakukan kepada istri saya.
Namun apapun rintangannya, mendevelop orang adalah keharusan, karena hanya dengan hal itu organisasi akan jalan.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Saat ini istri saya sudah bisa mengendara mobil sendiri. Sehingga saat jam kerja tidak pernah lagi telpon saya untuk jemput anak yang ketinggalan bis sekolah, ke rumah sakit dan keperluan lain.
Dalam prosesnya, sampai menguasai mobil, tentu tidak sesimple itu. Dia pernah trauma nyopir karena nabrak pembatas jalan sehingga lampu sign pecah. Tapi yang jelas dengan bisanya salah satu anggota keluarga nyopir, saya juga ikut terbantu.
Yang pasti mendevelop orang memang butuh proses, melewati ketidaknyamanan, mengeluarkan biaya, memberi resiko, dan kadang "uring-uringan" untuk mengajari mereka agar bisa terampil dalam sesuatu hal. Namun seperti cerita yang saya alami diatas, saya pikir semua hal yang kita keluarkan tersebut sepadan. Mengamati dikehidupan dunia kerja, bahkan saya berani menyimpulkan bahwa, hanya mereka yang mempunyai karakter kuat sebagai seorang pemimpin lah yang berani mengambil resiko-resiko tersebut dalam mendevelop orang lain. Dan berdasarkan pengamatan saya, hampir semua mereka yang berani dan sukses mendevelop orang lain, adalah orang-orang yang berhasil baik dalam karir maupun hidup.
Ya paling tidak akhirnya saya sendiri yang terbantu dan bisa duduk di kursi penumpang, sambil ngantuk-ngantuk!!!, disopiri istri....
No comments:
Post a Comment