Jun 7, 2018

Manila Sekilas Pandang

Langkah kaki menjelajah negara selanjutnya; Filipina, khususnya kota Manila. Bersama rombongan sebanyak 3 orang saya mendapatkan kesempatan bertugas ke Manila, seperti sebelumnya meski waktu kunjungan pendek, tapi harus dimanfaatkan agar sekaligus bisa jalan-jalan....:)

Perjalanan kami mulai dari Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta dengan Phillipines Airlines keberangkatan PR540 jam 13.00. Karena kami sepakat untuk tetap puasa meski perjalanan maka sejak dari Indonesia saya sudah antisipasi bahwa kemungkinan besar kami akan buka puasa di tengah jalan karena sesuai jadwal, pesawat baru akan turun di 6.25 waktu Manila, sedangkan saat Maghrib adalah jam 06.22. Waktu Manila sama dengan WITA, artinya tidak perlu banyak penyesuaian.

Sejak dari Jakarta saya sudah siapkan air minum dan kurma untuk ditenteng di kabin, sedangkan mie gelas, abon sudah tersimpan rapi di bagasi.

Semua persiapan telah dilakukan sejak di Bontang, termasuk mencari transportasi dari Airport Manila Terminal 2 ke Marriot Hotel Manila; tempat kami menginap, yang kebetulan ada shuttle busnya,

juga termasuk booking hotel dan lain-lainnya. Sesaat sebelum landing kami lihat dari ketinggian bahwa Manila mungkin sebesar Surabaya tapi tidak sebesar Jakarta.

Dari Airport terminal 2 kami tempuh waktu sekitar 15 menit ke Hotel Marriot yang lokasinya sebenarnya masih di area bandara tepatnya Newport City, depan terminal 3. Dinamakan Newport karena kelihatannya area tersebut adalah daerah baru, dengan fasilitas mall yang lumayan ok, disertai dengan kasino yang terlihat di sana-sini.




Sesampai di hotel, kami bergegas mencari makan malam dg kualifikasi Halal... dan susah.. kecuali di Marriot Cafe section halal yg berukuran tidak terlalu besar.. namun cukup untuk membuat kami kekenyangan meski tidak yakin 100% apa benar halal atau abu-abu..... 1 orang 2000 PHP cukup membuat kapok, untung ada jamuan dari pak Bos... hehehehe

Untuk mencari persediaan makanan sahur dll, tak lupa kami jalan kaki mencari bekal sahur, dan Alhamdulillah dapat semacam mart dimana bisa kami dapatkan susu dan cemilan yg mungkin aman halalitasnya..

Dan setelah itu tidur nyenyak...

Hari kedua siang, kami gunakan waktu untuk keliling Manila.... Sekilas Manila tak beda dengan kota lain di Indonesia. Sempat kena macet dengan kondisinya yg mungkin masih jauh dibanding Jakarta sebagai ibukota... Tak banyak yang bisa kami lihat di Manila, kecuali beberapa gedung tua peninggalan penjajah...hingga kami putuskan lebih baik kembali saja ke hotel untuk persiapan acara malamnya.

Malam kami habiskan di acara sekaligus makan malam bersama.. meski kami sempatkan mencari Mc D untuk bekal jika-jika nggak kenyang sahurnya.





Pagi-pagi jam 5.30 kami sudah check out dan menunggu shuttle bus ke bandara. Bandara Manila mungkin sekelas bandara Juanda... Dengan fasilitas yg tidak seglamour bandara Jakarta membuat kami menghabiskan waktu hanya nongkrong di ruang tunggu karena tidak ada pilihan shopping seperti di bandara Singapura, Kuala Lumpur misalnya... Beli beberapa suvenir dan coklat untuk oleh-oleh, dan selanjutnya kami habiskan waktu untuk main HP.

Jam 9.25 kami terbang dan sampai dengan lancar jam 12.05. Imigrasi, bagasi dan rencana tukar peso yg nggak jadi.

Karena kami harus pindah ke terminal 3, maka kami gunakan kesempatan tersebut untuk menjajal skytrain baru di bandara Soekarno Hatta.... wow ternyata luar biasa, bersih, tepat waktu dan sangat membantu mobilitas antar terminal.....

Terbang langsung ke Balikpapan dan stay over night untuk penerbangan ke Bontang masih menyisakan waktu jalan selama di Balikpapan. Jam 16.00 keesokan harinya seperti biasa saya kembali ke Bontang dengan chartered flight Pelita....
Home sweet home, Indonesia tetap yang tercinta!!!!!

Jan 27, 2018

Sang Antagonis


Menonton film selalu menyadarkan saya bahwa hidup dipenuhi dengan peran protagonist dan antagonis. Dunia adalah film besar dan merupakan cerita sesungguhnya tentang peran ini. Ada yang sabar, ada yang gampang tersulut. Ada yang kaya, ada yang belum beruntung secara ekonomi. Ada terang, ada gelap. Ada cantik, ada the beast. Ada yang cerewet, ada yang pendiam. Ada yang impulsive ada yang ekspulsive. Ada yang halus dan ada yang model suroboyoan.

Secara sekilas, beruntunglah mereka yang mendapat bagian protagonist, karena kebaikan dan dukungan penonton selalu menyertainya. Para boss akan menyukainya. Para anak buah akan memujinya. Para komentator akan mengulasnya. Sosial media akan membahasnya. Semuanya dalam bahasa yang baik dan dengan posisi yang terhormat. Bahkan tak jarang sejarah berkenan mencatatnya selama berabad-abad. Semua orang pasti ingin peran ini.

Yang selalu membuat saya takjub, bahwa ada mereka yang dengan sengaja memilih menjadi peran atau tokoh antagonis. Semasa kecil, saya senang sekali membaca buku Mahabarata. Di sana ada Sang Bisma yang dengan sengaja menjadi tokoh antagonis demi prinsip yang tidak dinyatakan secara eksplisit, namun semua pembaca yang cermat pasti akan bisa merasakan peran kebaikan dan kehalusan hati yang harus ditunjukkannya melalui peran antagonis.

Ibu saya, untuk menghentikan kesukaan saya lari bersembunyi saat tiba waktu mengaji berperan menjadi antagonis dengan memaksa saya pergi ke satu-satunya Masjid di desa. Saat itu saya melihat beliau sebagai tokoh antagonis. Namun sekarang setiap kali saya bisa membuka Alquran, betapa saya selalu berdoa kebaikan atas peran antagonis beliau dulu.

Untuk itu, sekarang saya tidak terlalu menjadikan peran sebagai sebuah hal yang serius. Saya tidak mau terlalu takjub dengan peran protagonis yang dimainkan, atau terlalu tidak suka dan menentang peran antagonis yang kadang harus dipilih. Bagi saya peran pro dan anta tidak lagi menjadi pikiran. Karena saya yakin sang tokoh  antagonis mungkin sedang menyeimbangkan dunia dengan perannya, bahkan seantagonis apapun.