Showing posts with label manajemen. Show all posts
Showing posts with label manajemen. Show all posts

Oct 24, 2020

Orang Baik Jadi Korban part 2

Repost tulisan sekitar 10 tahun lalu
------------
Saat menjadi guru muda di sebuah institusi di Jatim, sempat saya mendengar pak Direktur berkata, “Ketidakjujuran membuat segala sesuatu tidak nyaman dan mahal!”

Fokus saya waktu itu adalah pertanyaan, kenapa mahal? Dia melanjutkan bahwa dengan kita tidak jujur, maka akan didirikan otoritas pengawasan. Otoritas pengawasan tentunya akan perlu biaya. Dan biaya untuk operasi SEBUAH otoritas pengawas ternyata memang tidak murah. Apalagi jika, karena saking parahnya kondisi ketidakjujuran kita, harus dibuat lebih dari satu pengawas.

Ongkos ketidakjujuran yang kedua, yakni ketidaknyamanan, baru bisa saya hayati hari-hari belakangan ini. Hari-hari menghadapi tim audit (keuangan, bukan audit kinerja, performance) adalah hari-hari yang tidak nyaman, panjang, melelahkan dan menghabiskan waktu.

Padahal beberapa waktu lalu, saat baru masuk ke perusahaan, saya terkagum-kagum dan bangga akan banyaknya jalur audit, bisa-bisa kalau diitung sampai 2 – 3. Mulai dari audit internal, audit pemerintah sampai audit pemilik saham. Kenapa bangga? Karena sekilas kelihatan gagahnya jika sebuah sistim/unit harus dijaga oleh tim audit.

Namun pemahaman saya mulai terkikis. Saya sekarang semakin kuatir bahwa banyaknya tim audit, adalah gambaran betapa kita berada didalam lingkungan yang tidak bisa dipercaya, tidak berintegritas, tidak mature dan tidak jujur !!!!!!!!!!!!!!!
Dan hari-hari belakangan ini, saya pribadi mulai semakin bisa memaknai ucapan pak Direktur saya yang dulu bahwa ketidaknyamanan juga adalah "ongkos mahal" yang harus dibayar dari pengawasan yang bertujuan agar sistim dan uang tidak diselewengkan .
==============
Ironisnya, ketidaknyamanan itu harus dirasakan oleh semua, termasuk mereka-mereka yang jujur (bahkan ini yang sering ketiban beban), karena audit tidak akan mau tahu apakah anda jujur atau tidak. Yang penting jika waktunya ngaudit, semua akan dibuat tidak nyaman. Ironis, jika karena pelanggaran, kecurangan, ketidakjujuran hanya dilakukan oleh 1%-5% personnel, namun yang dibuat tidak nyaman harus seluruh pekerja. Ironis, jika biaya audit, semakin hari semakin naik, padahal sesungguhnya bisa kita gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, misalnya.

Berbicara lebih luas, skala Indonesia, saya mulai berpikir, betapa banyaknya ongkos/biaya yang bisa dihemat jika tidak ada KPK, BPKB, dan Badan-Badan audit lain….. Betapa bisa kita gunakan anggaran badan2 audit tersebut untuk membangun tangggul agar tidak banjir, memperbaiki sekolah agar tidak roboh, membina UMKM agar masyarakat mandiri….

Dan betapa nyamannya hidup jika hari-hari kita bisa dilalui hanya dengan fokus ke pekerjaan, tidak perlu menyiapkan berkas-berkas untuk auditor, tidak merasa dicurigai, dan lain-lain….

Namun saya lagi-lagi kuatir "impian" saya hanya tinggal impian.... tidak pernah menjadi nyata!!!!

Feb 14, 2009

NILAI

Written for http://busori.blogspot.com


It’s not hard to make decisions when you know what your values are
Roy Disney, American Film Writer, Producer, Nephew of Walt Disney


Tak banyak yang terkenang dari masa-masa SMA, karena saya termasuk siswa yang biasa-biasa saja. Kecuali, beberapa hal yang memang betul-betul terkait erat dengan pengalaman pribadi atau yang turut mewarnai cerita hidup dikemudian hari. Salah satu kenangan yang tak bisa hilang adalah tentang seorang guru Agama Islam, pak Suharjo Alm (mudah-mudahan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat Nya kepada beliau).

Sebagai guru Agama Islam, beliau tidak banyak berbeda dengan guru-guru agama Islam saya sebelumnya. Kecuali satu hal yang tidak pernah saya temui dari guru-guru lain, bahkan sampai saat ini, yaitu pemahaman beliau tentang pentingnya Sholat Malam atau Sholat Tahajjud dan Witir dan caranya mendorong dan “memaksa” para murid untuk mengerjakan Sholat Tahajjud + Witir.

Saya kurang ingat entah tepatnya kelas berapa diajar oleh beliau, kalau nggak kelas 2 ya 3. Namun yang pasti, disetiap pelajaran agama nya, beliau tidak akan pernah lupa mengabsen murid-murid nya, kadang diawal jam pelajaran atau diakhir jam pelajaran, sekaligus mencatat jumlah sholat tahajjud + witir yang semalam dikerjakan. Minimal roka’at yang direkomendasikan adalah 3 roka’at (2 roka’at tahajjud dan 1 roka’at witir). Yang paling bagus adalah 11 roka’at (4+4 roka’at Tahajjud dan 3 Witir).

Untuk mengetahui apakah muridnya semalam mengerjakan sholat malam, anehnya beliau cukup mengabsen muridnya dengan diembel-embeli kata-kata “Jangan Bohong Ya!” dll. Dan yang mengagumkan, beliau percaya seratus persen thd jumlah roka’at yang dilaporkan melalui ucapan sang murid. Jika misalnya saya bilang, tadi malam sholat 3 roka’at, maka langsung ditulis di buku absent/nilai. Yang lucu manakala, kata-kata “blas” sering terdengar sebagai “sebelas”, sehingga mungkin tercatat sebagai sebelas roka’at.

Saya termasuk yang rutin 3 roka’at dan yang mengagumkan nilai agama saya mendapat 9. Di atas semua itu, saya mendapat sebuah pelajaran berharga tentang KEPERCAYAAN. Tentang “nilai”, yang hanya merupakan sebuah “alat”, untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Bukan nilai sebagai tujuan utama dalam proses belajar di SMA.-----

Setelah lulus SMA saya melanjutkan kuliah ke Malang, sebuah kota yang di saat-saat awal saya masuk masih berhawa dingin sejuk. Masih ingat saat OPSPEK (Ploncoan) sekitar bulan Agustus, suhu udara Malang masih sangat dingin menggigit, sehingga sampai kulit pun berganti “mlungsungi”.


Saat kuliah banyak sekali kenangan indah yang tercatat, mulai dari bisa menghasilkan uang sendiri, dapat beasiswa TID (tunjangan ikatan dinas), jadi ketua HMJ, ketua SEMA Fakultas, aktifis PMII, HMJ (jurnalis) sampai ikut-ikutan acara demo era 94-an. (upss sorry, termasuk kenal sama mantan pacar yang sampai sekarang selalu mendampingi kemanapun saya berpindah-pindah), dan lain-lain.

Seperti saat SMA, ada satu pengalaman terkait dengan nilai yang sampai saat ini terkenang. Phonology adalah mata kuliah wajib dan kelas pertama yang harus dipelajari dengan serius. SKS-SKS sebelumnya banyak mengandalkan kemampuan diskusi, speaking, listening, reading, writing yang nota bene adalah pelajaran-pelajaran yang sesuai dengan hobi dan bawaan serta tidak perlu devoted time untuk belajar teori dan lain-lain, sehingga mulus lulus terus.

Ingatan saya terbawa ke sebuah sesi di saat pak Dosen, karena kesulitan menemukan sebuah kelompok yang mau membahas sebuah topik diskusi, lantas mendeclare sebuah komitmen, “Tim yang mau mengerjakan tugas ini, dijamin lulus mata kuliah Phonology”. Tim saya adalah yang bersedia mengerjakan. Lupa-lupa ingat, yang jelas, untuk mengerjakan tugas tersebut kami harus konsultasi beberapa kali.

Kondisi ekonomi yang kurang mendukung untuk hanya fokus ke kuliah saja, memaksa saya harus kerja, sehingga sering mengurangi waktu belajar. Ditambah dengan adanya jaminan pak Dosen bahwa pengerja tugas akan otomatis lulus, membuat saya terlalu capek untuk serius belajar saat final test. Dan hasilnya, tanpa terduga saya mendapat nilai “D”. ….:(

Sebuah pengalaman pertama tidak lulus mata kuliah ini sempat membuat saya duduk termangu di emperan perpustakaan sekitar setengah hari, hanya melongo, ditemani pikiran kosong yang dipenuhi ketakutan-ketakutan akan masa depan.

Sebuah pelajaran baru saya petik. Bahwa pengingkaran atas komitmen, sering tanpa disadari sungguh menyakiti seseorang. Dari situ saya belajar agar berhati-hati dalam membuat janji, komitmen dan sejenisnya. Dari situ saya belajar bahwa sebuah komitmen memiliki banyak implikasi, butuh pengorbanan, butuh kekuatan dalam melaksanakannya. Entah bagaimana muasalnya, dari situ saya mulai belajar untuk tidak terlalu mengagungkan sebuah nilai. Beberapa waktu berkesempatan mengajar, saya selalu menjadi salah satu pendidik yang berusaha untuk tidak mensakralkan sebuah nilai.

=============

Setelah lulus kuliah, saya termasuk lulusan yang beruntung. Saya langsung nikah, dapat pekerjaan meski tidak terlalu settled dan masih sempat menemukan banyak ”guru” kehidupan.

Di pekerjaan, ternyata saya masih harus bergaul dengan ”nilai” seperti halnya di SMA dan Perguruan Tinggi. Di pekerjaan, saya masih harus dinilai setiap tahunnya antara lain untuk melihat kinerja dan besarnya bonus individu tahunan. Dengan implikasi yang kelihatannya semakin kompleks. Antara lain, terkait erat dengan budget, target kinerja, KPI (Key Performance Indicator) Goal/Objectives, dan lain-lain.

Banyak hal yang saya pelajari dari nilai-menilai ini. Namun lesson learned nya hampir sama, bahwa nilai bukan sebuah tujuan utama, dia hanya sebuah alat. Alat untuk mendorong pekerja atau yang dinilai agar semakin berprestasi, semakin berkembang, semakin mature, semakin bagus dalam hal pekerjaan tekhnis dan manajerial, dan lain-lain. Di dalamnya tetap ada pelajaran tentang komitmen, keberanian, kejujuran, fairness, penghormatan kepada anak-buah.


Nilai jangan sampai malah akan menjatuhkan moral, mendemotivasi, mempermalukan, menegasikan prestasi, pengingkaran terhadap komitmen, perwujudan ketidakpercayaan, dan lain-lain. Tanpa itu semua, nilai hanya sebuah angka tanpa makna dan tanpa ruh serta tanpa nilai sama sekali.