Nov 20, 2008

Suatu Malam di Jakarta

“Penumpang yang terhormat. Sesuai peraturan penerbangan sipil, kami akan memperagakan bla, bla, bla………”.. Remang-remang suara Pramugari yang sedang memperagakan pemakaian sabuk pengaman dan hal-hal terkait safety memudar dari pendengaran. Selanjutnya seperti biasanya, sehabis mengencangkan sabuk pengaman, waktu penerbangan Balikpapan- Jakarta terisi dengan tidur lelap, tanpa mimpi apapun.

Sekitar 6-7 jam sebelumnya, sekitar setengah jam aku berargumen dengan Bos, menolak ditugaskan ke Jakarta. Info dinas baru diberikan jam 12.00 saat makan siang, padahal dari tempat kerja; Bontang, ke Balikpapan dimana bandara internasional/nasional berada, perlu waktu 5 jam lewat darat. Kalau pagi sih masih bisa pakai pesawat charter perusahaan yg hanya butuh waktu 35 menit dari Bontang ke Balikpapan. Sayangnya hari itu pesawat charter perusahaan hanya terbang pagi jam 07.00.

Terbayang capeknya lewat darat, padahal penerbangan terakhir dari BPP ke JKT jam 06.30 malam. Belum lagi tugas ke JKT hanya mengikuti rapat yg sebenarnya bisa ku monitor dari jauh, baik lewat telepon, email maupun mode informasi lain.

Namun benar kata pepatah, “Boss is not always right, but Boss is still Boss”. Meski setengah mati aku kasih argument ttg tidak perlunya harus hadir secara fisik, Boss tetap berkeputusan “You must go, and tomorrow morning attend the meeting at 8.30. If you can’t catch the flight to JKT, you fly to Surabaya and stay overnight there. Early in the morning you catch the first flight to attend the meeting. TITIK!.”

Jam 13.00 saya mulai naik taxi. Karena rata-rata taxi perlu 5 jam dari Bontang ke Balikpapan, kebayang betapa kencangnya itu pak Sopir mengendarai si sedan tua nya. Di taxi, aku sempatkan hubungi travel agent untuk booking hotel, sambil kuminta menungguku sampai jam 18.00. Jangan tutup dulu. Juga ku kontak perwakilan Balikpapan untuk konfirmasi tiket, dg embel-embel ancaman yg menyertai jawaban perwakilan Balikpapan, ” Mas, kalau sampeyan nggak nyampek jam 18.00 di sini, kemungkinan sampeyan akan ketinggalan”.

Syukurlah sampai di Bandara jam 18.15 dengan selamat (mengingat nggak karuannya kecepatan p. sopir), langsung nyamber tiket. Sempat-sempatnya rekan baikku diperwakilan BPP pesan kaos dr JKT. Segera aku berlari ke arah pintu masuk saat kudengar pengumuman, ” Mohon perhatian, pesawat bla,bla,bla jurusan Jakarta mengalami penundaaan sekitar 30 menit…….”. Alhamdulillah…….. Baru kali ini aku bersyukur atas ditundanya penerbangan. Sebelum-sebelumnya, kalau nggak marah2 dalam hati ya ngedumel….. Yang lebih hebat lagi ternyata nggak hanya ditunda 30 menit… bahkan aku dikasih diskon sampai lebih dari 1 jam penundaaan. (Kalau ini sih sudah keterlaluan, dan aku kembali ngedumel lagi)

“Mas, permisi mas. Bisa geser sedikit”
Aduhh… siapa sih nih orang. Kenapa tadi sebelum naik pesawat nggak ke toilet dulu supaya nggak ngganggu orang saat tidur gini. Ganggu tidur aja! Kulihat dari ujung mata, seorang wanita setengah baya sekitar umur 32-40-an, terlihat rapi, mau masuk ke tempat duduk di sebelah jendela. Wah darimana nih orang? Nggak lihat keluarnya, kok tiba-tiba tahu baliknya doang. Apa saking lelapnya tidurku ya……

Kelihatannya dia merasakan kekesalanku, “Maaf ya mas, ngganggu”.

Karena nggak tega atas rasa bersalahnya, ku jawab sekenanya, sesopan-sopannya, “Silahkan mbak, ndak pa-pa”.

“Mau permen mas,” Aduh ini orang baiknya nggak ketulungan sampai bikin jengkel. Terpaksa kubuka mata, untuk praktik kesopanan. Cilakanya kuambil juga itu permen. Maklum di penerbangan ini jangankan permen, minumpun modal sendiri. “Terima kasih Mbak”

“Mas, mau kemana kok kelihatannya gelisah sekali. Baru pertama ya ke Jakarta. Atau karena ada urusan sangat penting”, Sempat kulihat sekilas wajahnya. Terlihat wajahnya yang ayu, khas wajah Sunda, temaram oleh penerangan pesawat yang nggak terlalu terang. Jangan-jangan inipun biar penghematan, pakai lampu kabin temaram… Mungkin karena penerbangan murah!!!!. Cara berpakaiannya yang rapi dan serasi, dan ketika sekilas kulirik aksesoris yg dipakai menunjukkan bahwa si Mbak adalah orang berkelas.

“Eh, kok malah ngelamun mas?” Weleh-weleh, aku makin terdesak. Jangan2 nih orang bisa mbaca pikiranku lagi.

“Sudah berkali- kali sih ke Jakarta, tapi ya itu, capek mbak kalau bepergian ke Jakarta. Mana mendadak lagi”, tanpa sadar kutumpahkan kekesalanku pada Bos yg secara "semena-mena" menyuruhku berangkat tanpa persiapan kepada siMbak…….

Dengan senyumnya yang manis, si Mbak dg santainya menenangkan kegalauanku.

“Ah, biasa mas, kalau urusan pekerjaan biasanya sih memang gitu. Tak mengenal waktu. Eh, ngomong-ngomong kita belum kenalan ya…. Nama saya Wulandari Kurniasari. Saya sih asli Jakarta, jadi kalau mas mau bareng saya ke tempat tujuan bisa sekalian jalan. Kita searah kok, daripada naik Taxi, malam-malam gini.”

Eit, perasaan perkenalan kami baru saja, belum 30 menit. Tapi kesannya kok sudah lama ya. Dan kami sudah nggak terlalu kikuk lagi. Apa karena seirama ya? Bahkan tidak ada kesan “murahan” saat dia menawarkan tumpangan, meski baru kenal.

Dan dia kok tahu hotel yang ku booking ya? Oh iya ya… tadi tanpa sadar aku keceplosan kalau sudah pesan sebuah kamar di hotel seputaran Jl. MH Thamrin. Kusambut uluran tangan perkenalan Mbak Wulandari sambil kusebutkan namaku.

Sempat kulihat lebih jelas Wulan saat kami berjabatan tangan. Tangannya yg halus menunjukkan bahwa sehari-hari dia tidak pernah kerja kasar. Kulitnya yang bersih, pasti menghabiskan banyak makeup. Rambutnya sepundak dicat agak kecoklatan tidak mencolok, membuatnya semakin klasik. Jari tangannya dihiasi dua buah cincin. Sedang arloji yg dipakai juga gemerlap tersinari lampu kabin. Pikiranku yg melayang nggak karuan buyar manakala dia menggoyang-goyangkan tangannya yang masih kupegang.

“Mas, ngelamun ya…..”

He,he,he….. dasar mantan buaya…. nggak bisa lihat cewek rapi… teriakku kepada diriku sendiri,,, tentunya dalam hati…….

“Gimana, biar aku antar saja ke Hotel, daripada nanti kesasar lho…..”, tak sengaja masih kulihat kedipan matanya yg semakin indah,,… atau aku yang semakin mabuk ya…….. Bulu matanya yang lentik, pasti rutin dirawat disalon mahal….

Ah aku terlalu GR!, Aku yakin dia wanita baik-baik yang dengan ikhlas mau membantuku. Setelah kupikir-pikir, nggak ada salahnya juga aku nebeng dia. Toh identitasnya jelas. Dia punya rumah di Balikpapan, habis mengunjungi saudaranya yg bisnis di sana. Tapi dia bersuami belum ya…bisa-bisa disabet sama suaminya gue……..

“Nggak usah khawatir mas, saya niat nolong beneran nih. Lagian dirumah nggak ada yg nunggu saya kok. Jadi saya bebas”……

My God, betul-betul nih mbak Wulan bisa baca pikiranku. Seperti terhipnotis, akupun nggak kuasa menolak ajakannya. Kuanggukkan kepala tanda setuju.

Kulirik Wenger ku hadiah perusahaan yg saat itu menunjukkan pukul 21.35 Wita. Artinya 20.35 waktu Jakarta. Tanpa kesusahan, kami keluar tanpa menunggu bagasi, karena memang tidak ada bagasi.

Dia tarik tanganku menyebrang jalan depan airport, seperti seorang ibu yg menggenggam tangan anaknya agar tidak lari. Erat dan hangat. Aku berjalan mengiringi Wulan,terasa agak jauh, namun nggak tahu kenapa jarak bukan lagi sebuah masalah, hingga akhirnya sampai tempat parkir khusus nginap (Di Bandara Soekarno Hatta, jika anda bepergian tidak terlalu lama, bisa menitipkan mobil lebih dari satu hari). Aku agak terkejut manakala dia berhenti didepan sebuah mobil mewah yang sekarang mulai digunakan untuk taksi di ibukota. Tahu keraguanku, dia malah membukakan pintu mobil depan, dan meyilahkanku masuk. “Masuk Mas!, Jangan ngelamun aja!” Suaranya yg lembut lagi-lagi seakan menghipnotisku.

Ala mak, mimpi apa aku semalam. Atau karena berani sama Bos sehingga aku kualat seperti ini. Gue janji deh nggak akan berani ngeyel sama boss lagi (atau malah sering-sering ya kalau kualatnya kayak gini) Seumur-umur naik pesawat nggak pernah ditolong oleh cewek cakep dan baik hati kayak gini. Atau jangan-jangan dia ini hantu ya… kayak- di film-film itu. Atau nyai Blorong ya…… ah… nyai Blorongpun mana mau sama aku…..

“Mas, masih sore mas. Kita makan dulu ya……..!” Lho padahal sudah tinggal belok kanan masuk hotelku, kok dia malah nyelonong masuk kawasan Apartemen.

“Kita makan di apartemenku mas”. Dan aku nggak sempat menolak.

Di samping bangunan apartemen yang menjulang dia berhenti dan memarkirkan mobilnya, membuka pintu mobil disebelahku dan menarik tanganku….. masuk lobby apartemen, senyum sama security, nggesek card keamanan, masuk lift dan kulihat mencet lantai 27.

Masih digenggamnya tanganku erat-erat. Suara sepatu hak tingginya seakan irama music jazz yang sering dimainkan teman-teman Services di MPB saat Sabtu malam, membuatku semakin hanyut. Terseret-seret mengikuti jalannya yang semakin cepat , masih sempat tercium bau parfumnya yang lembut dan mendebarkan, membuatku semakin melayang.

Tubuhnya yang semampai, sedikit lebih pendek dariku, sekitar 172 m, langsing dibalut pakaian warna lembut kesukaanku makin membuatku tak sempat berpikir panjang, untuk mengekornya. Sampai didepan kamar pojok, dia menggesek cardnya sekali lagi dan terbuka apartemennya. Nggak terlalu luas, tapi cukup elegan, dengan ruang tamu sederhana tapi berkesan mewah, ruang makan, ruang santai terlihat 2 kamar tidur, 1 toilet dan kelihatannya 1 gudang. Kulihat di meja makan, sudah tersedia cukup makan malam untuk kami berdua.

“Tadi di bandara aku sempatkan telpon restoran di bawah untuk makan malam kita. Aku mandi dulu ya mas. Maklum seharian dijalan nggak enak. Please enjoy, sorry sepi. Nggak ada siapa-siapa sih, karena adikku baru dua hari lalu pindah ke apartemennya yg baru”. What a coincidence! Sebuah kebetulan yang indah.

Makan malam, kami santap dengan santai, sambil bincang sana-sini. Sesekali dia menanyakan pekerjaanku. Tapi selebihnya ngobrol ttg Jakarta, dan perkenalan ttg diri kami pribadi.

“Gimana, mau ke Hotel sekarang atau sekalian besok pagi saja?”. Ya ampun,……. Kenapa sih tawarannya kok susah sekali dijawab……. Untungnya, aku masih sempat ingat wajah galak boss yg seakan-akan ngingatin untuk tidak terlambat hadir besok pagi-pagi sekali ke acara Meeting.

Aku memutuskan pergi, meski dengan berat hati sekali. Dia tampak kecewa, namun senyumnya yang manis menunjukkan bahwa dia mengerti kekawatiranku.

Turun dengan baju casual dan agak terawang, dia kembali menuju ke tempat parkir. “Mas, pakai mobil yg ini aja ya. Yang tadi kelihatannya agak bau karena diparkir di bandara semalaman.”

Aku sudah nggak bisa berpikir. ” Mau coba nyopir?”. Kugelengkan kepala. Jangankan nyopir di Jakarta. Naik taksi aja masih sering nyasar (Apalagi kalau sopir taksi yg nggak jelas. Nggak malah diarahkan, malah dikerjain).

Sekitar 10 menit kemudian sampai kami di Hotel.

“Mas, aku antar ke atas ya. Di apartemen nggak ada siapa-siapa, mending kita ngobrol2 dulu ya”. Ampun, aku sudah berada dibatas kesadaran!

Hampir saja kuanggukkan kepalaku, ketika tiba-tiba anehnya malah gelengan kepalaku yang muncul. Oh my God, kenapa kewarasanku muncul disaat seperti ini.

Dengan lembut, tangannya yang sudah menggenggam tanganku sekian lama sejak berhenti diparkiran sampai lobby hotel ini, kulepaskan. “Wulan, aku harus buat presentasi. Aku kuatir nggak bisa kelar besok pagi kalau ada kamu nemani. Paling nanti kita ngobrol kesana-kemari. Aku janji deh, besok segera setelah meetingku selesai aku akan hubungi kamu by HP ya. Sorry ya… Sampai ketemu besok. Terimakasih tumpangannya dan makan malamnya”. Kujabat tangannya sekali lagi dan kucium tangannya yang masih ada digenggamanku, sebagai rasa terima kasih dan penghormatanku kepadanya. Agak terkejut Wulan dan tersipu malu, terlihat dari pipinya yang diselimuti warna merah tipis yang semakin merona.

Dengan menunjukkan wajah sedikit kecewa, dia lagi-lagi memahami kondisiku “Ok janji ya, besok kita ketemuan, bisa di sini atau di apt. ku”.

Kuanggukkan kepala. Terlihat dengan berat kaki dia melangkah keluar lobby dan melambaikan tangan serta melepas senyumnya yg aku yakin pasti menawan siapapun yang melihatnya. Masih sempat kulihat ujung gaunnya berkibaran ditiup blower /ac di depan pintu lobby.

Segera setelah termangu beberapa menit, aku ke resepsionis, kutunjukkan voucher hotel dan dapat kamar. Naik, mandi, Sholat Maghrib dan Isya di Jamak. Tertidur. Mimpiku malam itu betul-betul kacau. Nggak jelas. Sesuai kebiasaanku, jam 03.00 aku bangun. Kulihat di HP sudah ada SMS nya Wulan saying “have a nice dream” dan mengingatkanku untuk jaga kesehatan serta agar tidak lupa besok janji ketemuan.

Sepagian (mulai jam 03.00 – habis subuh) aku merenungkan pertemuanku dengan Wulandari. Tekat sudah kutetapkan. Aku tidak yakin apakah aku yang terlalu GR atau negative thinking atau Wulan yang terlalu baik. Namun rasanya, dalam perkenalan kami ada yang kurang wajar.

Habis makan pagi di Hotel, aku bawa barang2ku semua. Kutemui resepsionis, dan minta check out saat itu juga. Kucabut kartu pasca bayarku yg sehari sebelumnya nomornya kuberikan pada si Wulan. Aku pesan taksi, menuju tempat meetingku di Jl. Gatot Subroto. Saat di taksi, masih kusempatkan booking di sebuah Hotel, tidak jauh dari hotelku sebelumnya. Siapa tahu……….. Wulan menyempatkan diri mencari??????. Agar nggak jauh-jauh……… Siapa tahu aku yg terlalu negative thinking.

No comments:

Post a Comment