Dikenal dengan istilah puncak Haji, kita sering menamainya dengan hari ARMINA (Arafah, Mina). Bagi jamaah Haji, waktu inilah, waktu inti dari pelaksanaan Haji nya. Kegiatan ini juga yang membedakan antara Haji dan Umrah. Karena dalam umrah, tidak perlu melakukan ARMINA.
Dimulai tanggal 8 sampai dengan tanggal 12/13 Dulhijjah, mereka; seluruh jamaah Haji akan berkumpul di satu tempat, dengan tujuan yang sama yaitu melaksanakan praktik Haji. Kenapa bisa berakhir tanggal 12 atau 13?. Sampai tanggal 12 kita tinggal di Mina jika mengambil Nafar Awwal. Sedangkan kami mengambil Nafar Tsani, sehingga tinggal sampai tanggal 13 Dulhijjah di Mina.
Tanggal 8 Dulhijjah 1433 hijriah, rombongan kami yang dibagi dalam 2 bis berangkat pagi dari tempat menginap menuju Mina. Sesampai di Mina, segera setelah mendapati maktab kami di nomor 115, dibawah jembatan terakhir, kurang lebih 1 kilometer dari Jamarat (tempat melepar Jumroh) kami segera mencari tempat dalam kemah, dimana masing-masing tempat tidurnya sudah disiapkan sesuai jumlah rombongan. Jangan dibayangkan tempat tidur yang lapang. Karena tempat tidur kami adalah satu kasur kecil dan tipis yang dibatasi dengan kasur jamaah lain. Jika anda tidur miring, maka wajah atau punggung teman disamping yang akan kita pandangi.
Kemah kami dipisah antara jamaah lelaki dan perempuan. Ada beberapa kelompok yang tidak dipisah, hanya dibatasi kelambu atau loss sama sekali, hanya dibedakan barisnya. Namun kami lebih mencari aman!
Untuk toilet tentunya sangat terbatas jumlahnya. Dari sekitar 200-an jamaah di maktab, mungkin jumlah toilet yang tersedia hanya sekitaran 40-an. DIsitulah sebenarnya indahnya. Sepulang anda dari Mina, pengalaman mengantri atau menggunakan toilet tidak akan pernah terlupakan....
Makan? Inilah lebihnya. Makan besar dihidangkan 3 kali sehari. Sedangkan minuman dan cemilan seakan tidak terbatas. Dijamin anda tidak akan kelaparan dan kehausan.
Lembah Mina yang hanya ramai setahun sekali saat musim haji, hari itu betul-betul menjadi lautan kemah putih. Dari ketinggian, kita hanya bisa melihat bentuk-bentuk kerucut putih seakan tak terbatas.
Hanya semalam kami menginap di Mina, sampai besok harinya tanggal 9 sehabis subuh kami diberangkatkan ke arofah. Inti Haji adalah Arofah. Tidak ada Haji tanpa Arofah. Dipadang Arofah yang terbatas sekitar 3- 4 juta manusia dari segala penjuru dunia wajib hadir pada waktu yang sama, yaitu di hari Arofah.
Tanggal 9 pagi, bis kami melaju normal menuju padang Arofah. Sedangkan bis satunya sudah didepan mendahului kami. Niat Haji sudah dibulatkan, guna memenuhi panggilan Allah SWT. Semua persiapan sudah dilakukan, semua rencana sudah ditetapkan dan jadwal sudah dipastikan. Sehingga kami lupa bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini jika Allah berkehendak lain.
Di tengah jalan, bis yang kami tumpangi MOGOK!. Dengan kesibukan yang padat, tentunya sumber daya pendukung pada hari itu sangat terbatas. Tidak akan mungkin anda mencari angkutan lain pada waktu yang sepadat itu. Saat itulah ingatan saya mulai membayangkan berbagai kemungkinan. Jika kita tidak bisa mencapai Arofah setelah Dhuhur, betapa sia-sianya perjalanan Haji kami yang sudah sejauh ini. Di saat seperti itulah kami menyadari bahwa sesempurna apapun rencana yang sudah kita buat, tiada akan berjalan jika Allah SWT tidak mengijinkan. Diiringi Istighfar kami menunggu pertolongan....
Setelah sekitar 2 jam menunggu, akhirnya teknisi dari perusahaan bis yang kami sewa datang. Alhamdulillah. Tidak berapa lama kemudian bis berjalan menuju padang Arofah.
Sesampai disana, kami segera menunju tenda yang telah disiapkan. Belum habis masalah, ternyata AC ditenda kami rusak.
Kami tunggu saat dhuhur tiba, dimana sholat dhuhur dan asar dijamak. Sebelumnya diberikan kutbah hari arofah oleh ustadz kami. Beberapa kelompok disamping kami, melakukan sholat dulu baru kutbah hari Arofah. Semua ada dasarnya!
Di Arofah kami akan tinggal sampai tergelincirnya matahari, dimana kemudian kami akan meneruskan perjalanan yaitu Mabidz atau bermalam di Muzdalifah.
Kegiatan di Arofah lebih kami gunakan untuk Dzikir, dan membaca Al Quran serta berdo'a. Karena Do'a di Padang Arofah Insya allah makbul.
Panasnya Arofah tidak lagi seperti yang kami bayangkan. Selain karena tendanya ber ac, Arofah yang katanya dulu tandus, sekarang dipenuhi pepohonan. Uniknya mereka menamai pohon-pohon semacam mindi dengan pohon Soekarno. Menurut cerita, karena pepohonan itu dulu ditanam atas ide pak Presiden Soekarno saat menuaikan Haji dan mendapati tandusnya Arofah, sehingga mengirimkan bibit pohon semacam mindi yang tahan denagn sedikitnya air. Saya sempatkan bergabung dengan rekan-rekan yang bertafakur di luar dibawah rindangnya pepohonan, ternyata lebih nyaman daripada di dalam tenda. Di sini, toilet juga sangat terbatas, sedangkan konsumsi tetap berlimpah.
Selepas tergelincirnya matahari, kami segera keluar tenda menuju bis. Sayangnya karena bis parkir dikejauhan, kami terpaksa jalan kaki menuju tempat parkiran, dan tentunya kalah dulu dengan banyak bis yang sudah siap duluan. Lumayan jauh jalan kaki kami sampai bisa menemukan bis kami, yaitu bus 2. Sesampai didalam bis, ternyata petualangan baru saja dimulai. Jutaan jamaah yang tumplek blek di Arofah semua berlomba menuju Muzdalifa untuk mendapatkan tempat bermalam yang nyaman, yaitu diatas aspal, didekat toilet dan lampu...hehehe (karena disana tidak ada tenda). Saking padatnya sehingga bis yang kami tumpangi tidak bisa bergerak lancar, atau bahkan tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan jarak antara kedua tempat yang saya hitung sekitar 10 kilo, harus kami tempuh selama semalam, didalam bis, wow!
Sebagian besar jamaah saya lihat jalan kaki untuk sampai di Muzdalifa, tidak memilih naik bis. Setelah sekali berhenti untuk sholat maghrib dan isya sambil menunggu lancarnya jalan menuju Muzdalifa di tengah jalan ke muzdalifa, akhirnya kami sampai di Muzdalifa saat subuh. Ehmmm! Tinggal sebentar untuk sholat, berstirahat dan makan indomie, sekaligus menyempurnakan syarat untuk tinggal di Muzdalifa, kami akhirnya kembali ke Mina segera setelah itu.
Jika berkesempatan, jangan lupa mencari kerikil untuk bekal melontar Jumrah. Itupun jika sempat. Jika tidak jangan kawatir, kerikil sangat banyak ditemukan di jalan, dan khususnya di tempat pelontaran jumrah... berlimpah!!!!
Perjalanan yang dipenuhi dengan kemacetan belum berakhir. Untuk kembali ke Mina ke kemah kami, bis kami juga dihadang macet. Perlahan, akhirnya kami berhasil mencapai kemah kami. Setelah istirahat sampai dhuhur akhirnya kami dipandu untuk melontar jumrah/batu Aqobah.
Kami memilih melontar di lantai tiga. Dan jangan kawatir, untuk naik ke sana, eskalator telah disediakan. Di lantai tiga jamarat terlihat tidak terlalu crowded, meski ratusan ribu jamaah berusaha melontar jumrah pada waktu afdol yaitu setelah dhuhur.
Tempat lontar jumrah juga sudah tidak seperti cerita jaman dulu lagi. Jamarat sekarang berada di tengah struktur raksasa tiga lantai yang lapang dan kokoh sehingga kemungkinan berdesakan sangat kecil. Luar biasa!Alhamdulillah setelah gundul, terasa beban kewajiban berkurang dipundak meski kami belum 100% halal, karena belum tawaf Ifadha atau tawaf penutup Haji. Tanggal 11,12,13 kami lewati dengan melontar jumrah ke 3 jamarat masing-masing dengan 7 buah kerikil.
Segera setelah selesai pelontaran 7 buah batu ke Jamarat Aqobah di tanggal 10, kami pulang ke kemah untuk bercukur gundul. Sepanjang jalan satu kilometer dari jamarat ke kemah, para tukang cukur dipenuhi dengan antrian mereka yang bertahallul. Tidak mungkin untuk mendapatkan tukang cukur, saya minta tolong kepada rekan untuk menggunduli saya 100%. Hehehehe...
Setelah tanggal 13 kami lontarkan batu terakhir, kami langsung dibawa ke pemondokan, istirahat sebentar dan kemudian melakukan tawaf. Tawaf kali ini lebih padat dibanding tawaf umrah kami saat pertama kali masuk Mekkah, karena jamaah haji yang belum semuanya selesai tawaf. 7 putaran mengelilingi Ka'bah kami lakukan dengan lancar dan percaya diri karena kami sudah tahu tata caranya dari pengalaman sebelumnya. Dilanjutkan dengan Sa'i; berjalan 7 kali sepanjang bukit safa dan marwa, akhirnya kamipun menyelesaikan ritual Haji kami. Alhamdulillah.
Dengan Tawaf Ifadha, secara resmi selesailah ritual Haji kami. Kami hanya bisa berdo'a semoga ibadah haji ini diterima Allah SWT, karena pada intinya hanya usaha yang bisa kami lakukan. Dan kami juga berod'a agar bisa kembali menempati kemah-kemah di Mina, maupun Arofah, yang meskipun terlihat sesak, namun sangat mengesankan.
Sebelum saya akhiri sharing pengalaman ini, satu hal yang perlu dipertimbangkan. Hajilah saat anda masih sehat, karena saya itung-itung ibadah haji mungkin 80% terkait erat dengan kebugaran fisik. Mulai anda dalam perjalanan di pesawat, di bis, tawaf, sai, melontar jumrah, ibadah sehari-hari dari pondokan ke masjid, semua memerlukan fisik yang fit. Jika tidak maka akan sayang sekali kalau anda harus didorong di atas kursi roda...!
No comments:
Post a Comment