Nov 15, 2010

Pengorbanan yang Sesungguhnya

Setelah sekian puluh tahun menikah dengan Sarah, Nabi Ibrahim tetap belum dikarunia seorang putra. Hingga akhirnya sang Istri mengijinkan sang suami tercinta untuk menikahi sahayanya yang berasal dari benua hitam.

Atas Rahmat Nya, dari rahim Siti Hajar, Ibrahim mendapatkan kebahagiaan dengan lahirnya seorang putra, yang kelak dikenal dengan nama Ismail. Bisakah anda membayangkan rasa sayang Ibrahim kepada putra yang telah dinanti-nanti sejak sekian lama? Kelihatannya akan susah untuk dilukiskan, kebahagiaan Nabi Ibrahim atas karunia ini.

Sayang dan bahagia semakin mendalam manakala sang putra adalah anak yang sholeh, yang kelak bergelar Nabi, yang merupakan nenek moyang bangsa Arab saat ini.


Namun, kebahagiaan ini harus mulai ditebus oleh Nabi Ibrahim, dengan permintaan Siti Sarah agar menjauhkan sang putra dan Ibunya darinya. Saya takut untuk mengatakan bahwa kebahagiaan Ibrahim berbuah kepedihan seorang wanita, yang tidak bisa memberikan seorang putra terkasih kepada sang suami tercinta.

Dengan ketabahan seorang Nabi, dipindahkanlah keluarganya ke sebuah padang tandus, yang sekarang dikenal dengan nama Mekah.

Waktu berjalan, hingga pada suatu saat datanglah Ibrahim menyambangi Ismail dan Ibunya. Bukan kabar gembira kalau memakai ukuran kita, karena kedatangannya adalah untuk mengabarkan sebuah mimpi.

Mimpi untuk menyembelih sang putra terkasih!

Jika anda berada diposisi Ibrahim, sanggupkah anda mengabarkan mimpi itu? Kelihatannya berat!

Tidak demikian dengan Ibrahim, karena dia sadar bahwa mimpi seorang Nabi adalah wahyu.

Saking sayangnya kepada putranya, tidak langsung dia sembelih putranya seperti Perintah. Namun masih dengan kehalusan hati, ditanyakannya perihal Perintah itu kepada Ismail. Dan saat ditanyakannya mimpi tersebut kepada putra nya, sang terkasih hanya menjawab, “ Jika memang hal itu perintah Allah, maka lakukanlah. Insya Allah saya termasuk golongan orang yang sabar”. Betapa semakin hancur hati seorang Bapak dengan ketulusan sang putra.

Membaca hal diatas, lantas saya sekarang ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada pembaca sekalian. “Siapakah diantara 2 orang ini, Ayah dan Anak, yang berkorban paling besar?” Apakah Ibrahim atau Ismail sang putra terkasih?

Mampukah anda sebagai ayah yang sangat berbahagia atas hadirnya sang putra setelah menunggunya sekian lama, melakukan penyembelihan kepada anaknya.

Atau jika anda di posisi Ismail, mampukah anda menjawab seperti itu. Saya takut kita akan menjawab dalam hati “Kenapa tidak Bapak saja yang disembelih, kan Bapak sudah tua!”

Sebuah pengorbanan yang tiada tara! Sebuah pengorbanan yang sesungguhnya!

Flash back ini selalu membuat saya rendah diri saat berkorban 1 ekor kambing atau 1/7 sapi. Karena belum ada apa-apanya dibanding pengorbanan sang Ayah Ibrahim dan pengorbanan sang Putra Ismail.

(disadur dari cerita P. NU saat santap siang di Kyoto)

No comments:

Post a Comment