Oct 22, 2010

Corporate Social Activities

Beberapa tahun lalu, setelah sekian lama tidak menjenguk kampung halaman, saya dikejutkan dengan banyaknya lalat beterbangan. Selidik punya selidik, ternyata sedikit ke arah utara dari perkampungan, terdapat kandang ayam potong, dimana pada musim tertentu menyebabkan bermunculannya lalat. Meski disana-sini beberapa tetangga banyak yang komplain, namun untungnya tidak sampai memunculkan respon yang radikal atas keberadaan kandang. Anda tahu kenapa? Salah satunya karena pendekatan yang dilaksanakan oleh pemilik kandang.

Pada setiap musim panen ayam, pemilik kandang tidak segan berbagi kebahagiaan, entah berupa ayam, atau dalam bentuk in-kind lainnya misalnya beras, kain dan sebagainya.

Pendekatan ini dilakukan juga oleh para peternak burung wallet di sebuah kota pesisir Kalimantan Timur kepada para tetangga dekat yang sering kejatuhan kotoran burung penghasil dolar ini. Mereka tak lupa berbagi dengan tetangga-tetangga sekitar sarang waletnya saat panen tiba.

=========

Flash back ke dekade70-80-an, di sebuah pesisir pantai timur Kalimantan, sebuah proyek raksasa dibangun. Disekelilingnya tidak ada kegiatan komunitas yang signifikan, kecuali sebuah perkampungan nelayan dengan jumlah penduduk sekitar 10 ribuan yang sebagian besar tinggal diatas laut.

Tercatat dalam buku sejarah bahwa kota yang sebelumnya hanya sebuah desa nelayan tersebut , sekarang menjadi salah satu kota terkaya di Indonesia, kota teraman dengan hubungan antar penduduk dan perusahaan yang harmonis, serta prestasi membanggakan lainnya.

Lantas bagaimana bisa terjadi seperti itu?

Banyaknya pekerja pendatang baik nasional maupun asing, mendorong kebutuhan lainnya yang diperlukan untuk hidup normal dalam bermasyarakat. Para pekerja proyek butuh keluarga, butuh pasar, butuh sekolahan, butuh perumahan, butuh keamanan, butuh pemerintahan lengkap, butuh transportasi, dan lain-lain.

Maka dibangunlah jalan perintis, barak, pasar, sekolahan, dan sarana lain, tidak hanya didalam kompleks namun juga di luar kompleks…. Kenapa perusahaan ini bersusah payah melakukan hal tersebut. Karena dia dan komunitasnya membutuhkan komunitas lain, untuk memenuhi syaratnya sebagai makhluk sosial.

=======

Peternak sarang burung wallet dan ayam potong yang tersebut dalam narasi saya diatas mungkin tidak pernah mendengar istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau COMDEV. Apalagi membaca buku Cannibals with Forks: Triple Bottom Line of 21st Century Business: karya John Elkington yang mendasari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Mereka juga belum tentu pernah membaca KEPMEN BUMN No. 236 /2003 yang mengatur PK dan BL. Atau UU Perseroan Terbatas dan Investasi, yang salah satu ayatnya mengatur tentang perlunya pelaksanaan tanggung jawab sosial.

Demikian juga dengan Perusahaan yang saya ceritakan diatas. Di era itu; 70-an, konsep CSR dan COMDEV mungkin belum pernah dibicarakan secara fokus. Alih-alih mengenal ISO 26000 yang baru saja disiapkan untuk mengatur pengelolaan CSR.
Yang luar biasa, mereka bertiga dengan caranya masing-masing telah melakukan sebuah kegiatan sosial dengan spirit tanggung jawab sosial terhadap tetangga (baca = masyarakat) sekitarnya. Sekarang konsep ini gencar dikenal sebagai Corporate Social RESPONSIBILITY.

Tanpa harus diatur UU, PP, KEPMEN, ISO, mereka melakukan suatu kegiatan sosial dengan tujuan yang paling mendasar, yaitu karena KEBUTUHAN, bukan sekedar TANGGUNG JAWAB. Kebutuhan karena sang pemilik ternak ayam butuh tetangga yang suportif dengan usahanya. Kebutuhan karena sang peternak sarang burung wallet sadar bahwa kotoran burungnya tentunya mempunyai efek terhadap tetangganya. Kebutuhan karena perusahaan ingin melihat komunitas yang lengkap, mandiri dan saling melengkapi satu sama lain. Mereka telah melakukan kegiatan-kegiatan yang didasari pada dasar saling membutuhkan, menguntungkan dan tidak merugikan satu sama lain.

Kini CSR/COMDEV bukan lagi konsep asing. Hampir semua perusahaan besar terikat untuk melakukan peran sosialnya, selain harus berjuang untuk tujuan utamanya yaitu tujuan Ekonomi.

Dalam perjalanannya, peran sosial ini tak lepas “ditunggangi” juga dengan tujuan-tujuan lain, yang sampai kini masih sering kita temui pada pelaksanaan CSR perusahaan modern. Misalnya sebagai media publikasi, menjaga hubungan, dan lain-lain, yang muncul dari naluri sebuah badan usaha dimana jika memungkinkan segala macam kegiatannya hendaknya memberi keuntungan langsung.

Evolusi

Kesadaran untuk berbagi dengan lingkungannya, berevolusi mengambil bentuk yang bermacam-macam.

Metode paling mendasar dan sederhana mengambil bentuk charity. Model ini yang paling banyak ditemui di berbagai perusahaan, dengan cara memberikan bantuan langsung baik berupa dana maupun sarana untuk menunjukkan tanggung jawab sosialnya pada tetangganya. Tentunya banyak hal positif yang didapat dari model ini, meski menurut beberapa pengamatan model ini akan kurang memandirikan masyarakat.

Modenya terus berevolusi seiring kesadaran sang pemberi bantuan, bahwa kemandirian adalah yang perlu ditumbuhkan, sehingga pada waktunya nanti perusahaanpun tidak akan terlalu direpoti. Maka muncullah berbagai konsep, teori dan lain-lain untuk mencari bentuk pemberian bantuan yang paling pas, sustainable dan memandirikan serta “canggih”.

Termasuk penciptaan policy perusahaan yang mendorong kemandirian pengusaha lokal, dengan membuat aturan pembelian yang berpihak pada vendor local. Ketenagakerjaan, penumbuhan ekonomi riil. Semakin melebar ke lingkungan hidup, atau yang terakhir dengan dialignkannya program-program COMDEV perusahaan dengan Millenium Development Goals (MDGs).
Hingga akhirnya, CSR atau COMDEV atau PKBL atau entah istilah apa lagi, semakin hiruk pikuk mencari bentuk, mengembangkan konsep dan melakukan praktiknya. Semua berasal dari sebuah kesadaran sederhana,sesuai kondisi kemanusiaan kita, bahwa berbagi adalah baik meski kecil sekalipun. Sama halnya dengan ucapan Nabi Muhammad SAW sekitar 14 abad lalu yang kurang lebih demikian, “Kalau kamu memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian lihatlah keluarga dari tetanggamu. Dan berilah mereka daripadanya dengan baik”.

Ya CSR or COMDEV is not really as complicated as it is that discussed in the thick books, it is merely as simple as the last line of my last paragraph.

No comments:

Post a Comment