Sep 7, 2009

HIDUP YANG MENGURAS TENAGA

Sejak saya bisa mengingat sampai remaja, hidup serasa sebuah perjalanan wisata, tanpa beban dan tanggung jawab.

Hingga sekitar 92-an awal, adalah momen-momen yang menjadi tonggak penting dikehidupan. Setelah hampir 19 tahunan selalu tergantung pada support ortu, saat itu saya pertama kalinya menghasilkan uang untuk diri sendiri. Seorang senior, yang saat ini kerja di sebuah perusahaan multinasional di Papua, memberi sebuah pekerjaan pertama; menerjemahkan teks bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Saya lupa berapa halaman, namun hari itu saya dapat Rp. 12.000,- dari menerjemahkan.

Saya selalu ingat ekspresi kakak kelas saya saat memberi hasil uang terjemahan; sebuah senyum yang sulit di terjemahkan, entah senang karena bisa membantu saya atau (baru saat ini saya muncul dipikiran saya) ucapan sinis “Selamat Datang di Kehidupan yang Menguras Tenaga”

Sejak saat itu, seakan menemukan jalannya, saya berkejaran dengan tuntutan untuk bisa mendapatkan “job” sebanyak mungkin. Hari-hari, selain saya isi dengan kuliah (yang sampai saat inipun saya masih tetap heran, karena tidak pernah punya catatan mata kuliah), utamanya saya isi dengan menerjemahkan, memberi les privat dan pekerjaan serabutan lainnya.

Mengenang saat itu, saya kagum pada diri sendiri, betapa antusiasnya saya untuk mengalahkan kehidupan. Bekerja setengah mati, kuliah, ikut organisasi intra (mulai dari anggota HMP/Himpunan Mahasiswa Penulis sampai jadi anggota Dewan Penasihatnya, mulai jadi ketua HMJ sampai ketua Senat, mulai dari simpatisan ekstra kurikuler sampai menjadi aktivis 90-an), hingga berjuang keras mendapat beasiswa.

Sekitar 20 hari setelah lulus, dengan keberanian yang tidak pernah saya mengerti, saya putuskan menikahi dia yang saya pilih, yang saat itu masih kuliah.

Tuntutan hidup memaksa saya semakin keras mengeluarkan tenaga dalam mengarungi hidup. Mulai muncul keinginan mencari pekerjaan yang teratur. Baca: paling tidak ada pendapatan tetap yang bisa diharapkan tiap bulannya.

Untuk itu, perjalanan Malang- Jember, Malang-Kediri, Malang Surabaya saya tempuh hampir tiap minggu. Terakhir, sebuah pekerjaan yang lebih menjanjikan menuntut saya harus pulang balik Malang- Jogya setiap minggu. Hingga akhirnya nasib melabuhkan saya ke suatu kota kecil di pinggiran timur Kalimantan; mBontang.

Hidup yang menguras tenaga ternyata tidak berhenti sampai saat pekerjaan tetap dan settled saya dapatkan. Pernik-pernik kecil kehidupan, didalam keseharian, ternyata tidak pernah berhenti menguras tenaga fisik khususnya mental. Mulai dari kejar-kejaran dengan target waktu dan target hasil, sampai dengan yang paling kecil; eyel-eyelan dengan atasan dan rekan kerja atau anggota, termasuk dinamika keluarga yang mulai tumbuh besar. Keresahaan karena berbagai kekawatiran, ketakutan dan lain-lain mulai semakin menguras tenaga.

Sebuah kesimpulan tiba-tiba melintas dan mulai terumuskan di otak; Anda tidak akan pernah lepas dari hidup yang menguras tenaga selama masih ada desah nafas kehidupan, kecuali…….
“Para penumpang yang terhormat. Waktu menunjukkan pukul 17.58. Saat nya waktu Maghrib dan berbuka puasa”. Suara crew pesawat tiba-tiba membuyarkan lamunan dan menghentikan perumusan kesimpulan yang sedang berlangsung di kepalaku.

Kulihat keluar jendela pesawat, sisa silau jingga sang surya yang sedang beranjak ke peraduan terlihat sangat indah,,,,, seperti indahnya saat terbit sang surya yang beberapa kali saya kejar di ketinggian Bromo.

Kuambil minuman yang sempat kubeli di bandara tadi, sambil kulihat keindahan kota yang dipenuhi lampu malam di bawah sana. Wuih indahnya melihat malam dari ketinggian ribuan kaki.

Sebuah keindahan perjalanan mengawali bulan Romadlon, yang sebelumnya saya perkirakan berat karena harus dinas saat hari pertama puasa, namun setelah saya coba resapi kenikmatannya, terasa damai menjalaninya.

Saat itu kembali kesadaranku muncul,,, bahwa memang hidup ini menguras tenaga, kecuali jika kita bisa dengan tulus menikmati setiap momen hidup yang sedang kita jalani, sekecil apapun!

1 comment:

  1. Terimakasih Dik.
    Angkat topi untuk kemampuan anda untuk mengalir dalam lapisan medan2 bentuk2 kehidupan.
    Saya terperanjat membaca pendapat anda bahwa anda harus selalu mengempos tenaga... sehingga agaknya anda mengira bahwa lambat-laun tenaga anda habis...
    Mungkin itu karena anda ingin menyatakan kepada saya tentang jerih-payah anda untuk "mengalirkan" tenaga2 / daya hidup yang ada, yang ternyata dalam ketegangan hidup anda: menjadi sebuat "upaya" yang membutuhkan totalitas kesadaran diri di dalam setiap ruang, waktu dan khasiat/makna/manfaat yang berbeda-beda, sehingga anda harus "gonta-ganti" ukuran kewajaran yang dipakai dan ini melelahkan. Ya. Memang. Apalagi jika secara emosional terbelenggu oleh hal-hal yang diurus/diperhatikan.

    ReplyDelete